FYWS Wiraswasta di Surabaya – Umur 47 tahun
Saya telah mengikuti retret yang diadakan oleh Rm Sudrijanta SJ beberapa kali. Retret ini banyak membantu kehidupan saya. Dengan keheningan, saya terbantu menjalani hidup lebih selaras, antara jiwa/batin/pikiran dan tubuh. Yang dulunya berjalan sendiri-sendiri, kini terasa mulai utuh. Dalam keheningan, banyak topeng kepura-puraan terbuka. Keheningan menjadi bagian yang tak terpisah dari kehidupan saya sehari hari, setelah mengalami hal-hal luar biasa dalam retret. Namun tidak ada yang lebih penting selain SADAR dari waktu ke waktu, dengan menerima segala sesuatunya apa adanya.
Dalam retret tahun 2012 di GSV Prigen, Jawa Timur, pernah saya sharingkan dengan romo, tentang kehidupan saya yang mulai berubah meskipun perlahan. Pengalaman tersebut antara lain berkaitan dengan mama saya yang sakit keras. Ia menderita kanker stadium lanjut. Saya merasa datar-datar saja dalam menyikapi hal tersebut, tidak ada rasa terluka atau duka. Keluarga saya menilai bahwa saya kurang peduli dan kurang sayang terhadap mama saya.
Saya sangat dekat dengan mama saya dan beliau sangat mengasihi saya. Tetapi selama mendampingi mama saya tersebut, batin ini tidak tergoncang sedikitpun. Saya merasakan kehadiran beliau dalam setiap kehidupan saya ini.
Beberapa hari setelah retret berakhir, mama saya meninggal dunia. Peristiwa inipun tidak meninggalkan duka sama sekali. Saya sadar bahwa semuanya akan berlalu. Kitapun akan mengalaminya. Saya merasa bahwa dalam kehidupan saya beliau hadir dan menjadi satu kesatuan dalam kehidupan saya. Perpindahan atau transformasi ke tempat yang lain tidak meninggalkan duka sama sekali sampai saat ini.
Pada Februari 2013, saya mengikuti retret yang diadakan Romo Sudrijanta di Bintang Kejora, Pacet, Jawa Timur. Sewaktu meditasi duduk, saya merasakan sakit pada kaki saya. Saya sadari saja apa yang terasa dari saat ke saat, tidak menolak ataupun menerima rasa sakit tersebut. Dalam kesadaran saya tersebut, kesakitan tersebut memuncak dan akhirnya lenyap. Muncullah hal yang lain, yaitu perasaan marah yang tidak jelas asalnya. Saya tetap sadari apa yang terjadi. Kemarahan tersebut juga memuncak dan lenyap. Lalu muncul rasa lain, yaitu rasa tak berharga atau suatu rasa yang sulit dirumuskan. Ketika terus disadari rasa tersebut memuncak dan lenyap. Dari sini saya melihat saya rendah diri di waktu saya kecil. Karena hidup dalam kekurangan secara ekonomi, timbullah rasa rendah diri yang sangat hebat. Semuanya tetap saya sadari dan lenyap; dan saya merasakan kelegaan yang luar biasa.
Pengalaman di atas menunjukkan bahwa tanpa saya sadari, saya masih sering terpenjara oleh masa lalu meskipun saya hidup di masa sekarang. Tetapi keheningan dalam meditasi akan meneranginya dan membebaskan dari belenggu masa lalu.
Dalam walking meditation,gerak langkah menjadi lebih lambat. Biasanya dalam kehidupan sehari-hari kita hampir selalu bergerak serba cepat. Dalam walking meditation, gerak pikiran dan perasaan yang disadari menjadi melambat dan berhenti, seperti pengalaman saya dengan rasa marah. Ketika muncul rasa marah, saya sadari saja sampai kemarahan memuncak dan lenyap dengan sendirinya. Ketika lenyap, terasa muncul penyatuan pikiran dan tubuh. Jalan menjadi lebih ringan, alam semesta terasa menyatu; serasa rumput, dedaunan, awan dan segalanya berkata-kata dan tak terkatakan.
Keheningan mendatangkan manfaat yang luar biasa. Kehidupan ini baik adanya. Terimakasih atas semesta yang menyatukan semuanya melalui rekan, keluarga dan pembimbing retret saya, Rm Sudrijanta SJ. Atas segala kepedulian akan makhluk hidup yang menderita dan semua akan saya kembalikan kepada semesta dalam karya saya. Semoga pengalaman ini dapat bermanfaat juga bagi pemeditasi yang lain.
Salam hening.
Surabaya, Medio Maret 2013
like like like
Dear Romo Sudri,
Saya sedang “on fire” menulis dan juga mendalami konsili vatikan ke-2 sebagai referensi. Ternyata pengalaman saya pada saat mendapatkan mind-body-spirit menjadi 1 (SATU) membawa saya pada persimpangan yaitu :
1. Menjadi atau menimbulkan ketuhanan di dalam diri dengan aku menjadi center atau menjadi semacam energi Tuhan. atau,
2. Tetap menjadi manusia biasa atau hamba yang siap mati untuk pribadi Tuhan pencipta.
Keduanya ini mempunyai kesamaan yaitu mengosongkan diri atau mematikan si aku. Ini dapat dicapai dengan berbagai perjalanan pengalaman dalam suka dan duka serta melalui berbagai pengetahuan. Puncaknya adalah melalui meditasi karena tidak dapat lagi menembus si aku dan segala fakta yang ada dan yang terpikirkan.Selain itu keduanya mempunyai kesamaan yaitu menemukan keilahian/ketuhanan dalam dirinya.
Sedangkan perbedaannya adalah yang pertama seolah-olah kosong atau si aku tidak ada lagi tapi seperti yang saya pahami karya terbesar “kegelapan” adalah TIPU DAYA, artinya justru yang di dapatkan adalah kepenuhan ego atau kepenuhan si aku dan karena si aku mengalami “kesempurnaannya” maka si aku atau ego dalam posisi confidence high level. Ini dapat menghasilkan energi ketuhanan tapi bukan Tuhan yang sebenarnya.
Sedangkan yang kedua adalah mengosongkan diri dalam arti sebenarnya maksudnya si aku atau si ego sungguh mati karena pribadi dari manusia itu yang siap menghambakan atau mempersembahkan dirinya kepada Tuhannya. Pada akhirnya ketuhanan dalam dirinya juga akan menjelma menjadi nyata dalam pribadinya melalui kematian pribadinya dan kematian ketuhanannya atau keilahiannya. Tapi dengan kematian pribadinya ini dan kematian keilahiannya justru muncul keilahian yang sebenarnya dan pribadi manusia tetap menjadi pribadi manusia biasa hanya saja unsur ketuhanannya HIDUP atau sudah mengalami kesatuan dengan pribadi atau personalnya.
Terimakasih Romo sudah mendampingi saya hingga semuanya jelas kini.
Salam
Mulianta Marcelles
The Power of Nothing