MK, 23 tahun, Programmer 

Fenomena Fisik dan Batin

Sudah beberapa bulan terakhir saya menghindar untuk bermeditasi secara rutin. Ada ketakutan bahwa saya mungkin akan menjadi seseorang yang tidak normal akibat meditasi. Banyak sekali fenomena fisik yang saya alami semenjak awal praktik meditasi kesadaran pada agustus 2011 lalu. Tetapi pikiran akan menjadi seseorang yang tidak saya kenal, di luar kewajaran orang normal biasa dan tidak bisa kembali lagi menjadi normal dan biasa, itu semua sangat mengganggu saya. Berkali-kali saya katakan kepada rekan saya, bahwa saya galau, tidak nyaman.

Pada awalnya saya tidak sadar bahwa sebenarnya ketakutan saya terutama disebabkan oleh fenomena batin. Pada awalnya saya mengganggap yang saya takutkan adalah fenomena-fenomena fisik yang sangat tidak nyaman dan cenderung menyebabkan rasa sakit.
Beberapa fenomena yang sangat jelas tertangkap antara lain tersengat listrik di banyak tempat, seperti di pegangan pintu, air, dinding, meja, dan kereta belanja. Yang paling sering adalah kereta belanja. Bayangkan jika Anda tersengat listrik secara tidak sengaja, muncul rasa kaget dan rasa sedikit kebas pada bagian tubuh yang tersengat. Itu berlangsung kira-kira dua bulan dengan frekuensi hampir setiap hari di banyak kesempatan. Itu menyebabkan saya menjadi “parno” ketika akan menyentuh apapun sepanjang waktu tersebut.
Setelah berlalunya masa-masa sengatan listrik di tempat-tempat yang seharusnya tidak ada aliran listrik, tubuh saya mulai mengeluarkan getaran. Pertama-tama aliran terasa mulai dari tangan. Getaran terutama muncul saat sedang bermeditasi, baik meditasi duduk maupun meditasi jalan. Lama kelamaan getaran tersebut semakin kuat. Lebih terasa lagi ketika sedang akan tidur atau sedang dalam keadaan santai. Getaran ini menyebabkan susah tidur karena tubuh merasa terganggu dengan getaran-getaran tersebut. Pada puncaknya saya tidak bisa tidur selama beberapa hari karena getaran tersebut sangat terasa. Aliran darah, detak jantung, ritme organ-organ tubuh yang bekerja, bernapas, mengalir, semuanya sangat jelas tertangkap indera. Semua proses tubuh dari atas kepala sampai ujung kaki dapat saya rasakan secara detail dan akan lebih terasa jika saya sengaja meletakkan tangan saya di atas anggota tubuh tersebut untuk merasakan aliran yang terjadi pada bagian-bagian tubuh tertentu tersebut.
 
Sejak kejadian tidak bisa tidur selama beberapa hari tersebut, saya mulai sengaja banyak mengurangi praktik meditasi meskipun memiliki waktu untuk bermeditasi. Adanya kegiatan yang menarik saya selama beberapa bulan menjadi alasan untuk secara sengaja tidak melakukan meditasi selama beberapa bulan. Tetapi pelarian ini juga tidak menghentikan proses perubahan yang sedang berjalan. Pada satu moment, ketika saya terhenti selama beberapa hari dari kegiatan saya yang menarik tersebut, pada saat itu getaran tubuh muncul dengan sendirinya meskipun saya tidak melakukan meditasi. Suatu saat datang dengan sendirinya suatu pemikiran tentang apa yang harus saya ambil berkaitan dengan masalah saya. Tapi meskipun munculnya pemikiran tersebut tanpa disertai keraguan, saya belum mau mengambil keputusan karena saya kemudian berasumsi lagi bahwa itu adalah gerak pikiran saja–sebuah ilusi saja. Tapi karena begitu terasa meyakinkan, akhirnya saya bercerita kepada seorang rekan. Dari pembicaraan dengan rekan tersebut, saya putuskan untuk mengikuti saja pemikiran yang muncul tersebut. Dan memang pada akhirnya keputusan tersebut benar, dan tidak membawa penyesalan sama sekali. Meskipun merasakan kegalauan dan ketidaknyamanan pada beberapa minggu awal akibat terputusnya siklus kemelekatan saya pada kegiatan menarik tersebut.

Setelah berpindah dari titik tersebut, saya mulai meditasi lagi sekali-sekali. Tidak ada lagi hal-hal aneh selama waktu tersebut. Saya lewatkan hari dengan cukup menyenangkan melakukan hal-hal yang saya suka. Rasanya hidup kembali seperti biasa tanpa fenomena aneh-aneh. Dan tentu saja dengan hidup yang jauh lebih menyenangkan setelah masalah batin yang tertimbun tahunan lalu terselesaikan. Tapi memang sepertinya proses yang sudah mulai tidak berhenti dan tidak bisa dihentikan dan tetap berlangsung meskipun tidak disadari dan tidak diikuti dengan meditasi rutin. Semakin sering saya melakukan meditasi, semakin kuat dan sering pula fenomena-fenomena tersebut muncul. Dan itu menakutkan.

Antara 1-2 bulan sebelum retret 25-28 Oktober ini, saya kembali mengalami fenomena fisik aneh. Saya menjadi paka akan panas tubuh orang. Tubuh saya dengan pintarnya menerima pancaran panas dari tubuh orang-orang di dekat saya. Sensasi itu sama sekali tidak menyenangkan, bahkan cenderung menyakitkan meskipun sama sekali tidak membuat luka fisik. Dari situ saya menghentikan sama sekali meditasi saya yang memang sudah jarang saya lakukan. Tapi tetap, tubuh masih peka terhadap energi dari luar. Terbukti pada waktu sebulan terakhir sebelum retret, saat saya sedang mengobrol dan bercanda dengan teman tentang hantu, iblis, setan, kepala saya langsung kliyengan dan langsung terasa berat. Terasa lebih ringan jika keluar dari ruangan dan kembali normal dengan cepat jika saya sama sekali pergi dari sekitar lokasi tersebut. Itu terjadi dua kali di tempat yang berbeda, tapi dengan topik pembicaraan yang sama.

Bagi saya fenomena-fenomena fisik yang saya alami tersebut cukup menakutkan karena memang tidak biasa atau di luar kewajaran orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Semua yang terjadi baru saya kenali setelah memulai meditasi kesadaran. Ketika saya ceritakan beberapa fenomena fisik tersebut ke teman-teman muda dimana meditasi adalah tradisi dalam agamanya, dengan harapan mencari kesamaan, ternyata bagi mereka pengalaman saya tersebut dianggap tidak lumrah. Meskipun sudah sering bermeditasi secara rutin dan cukup lama, bahkan ada yang sudah bertahun-tahun melakukan meditasi, mereka tidak pernah mengalami hal-hal aneh seperti itu.  Terlebih ketika saya bagikan beberapa cerita tentang “rasa tahu” yang begitu saja, malah dianggap bahwa hal-hal tersebut adalah hasil dari ciptaan pikiran atau ilusi saya saja, bahwa saya hanya merasa seolah-olah tahu saja. Dari sini saya merasa jadi aneh dan perasaan takut saya terhadap proses dan fenomena yang saya alami menjadi makin besar, terutama rasa takut yang tertangkap melalui fenomena fisik.

Pada akhirnya saya paham. Dalam retret dikatakan bahwa tidak diperlukan otoritas apapun untuk mencari pembenaran. Pada akhirnya saya menangkap bahwa yang saya takutkan sesungguhnya bukanlah fenomena fisik itu sendiri, tetapi apa yang dihadapi batin. Saya takut terhadap fenomena fisik karena fenomena fisik tersebut itulah yang pertama-tama paling tertangkap oleh indra. Tetapi ketakutan yang sebenarnya adalah apa yang dihadapi oleh batin itu sendiri, bahwa saya sama sekali tidak mengetahui ke mana saya akan dibawa dalam perjalanan meditasi.
Lalu mengapa saya tetap tertarik dan mau untuk ikut retret meditasi?
Alasan utamanya adalah karena pengalaman transformasi batin yang sudah saya rasakan sendiri. Begitu banyak terjadi perubahan dalam cara pandang atau persepsi dan beban luka dan kekhawatiran yang teramat besar bagi saya telah berakhir. Banyak hal yang dulu saya anggap sangat penting, kini menjadi tidak penting lagi. Hal tersebut pada akhirnya memunculkan sebuah ritme kehidupan baru tersendiri yang jauh lebih menyenangkan.
Saya memang menghindari melakukan praktik meditasi sendiri di kamar karena saya tidak mau fenomena-fenomena aneh yang saya alami makin menguat. Saya merasa takut akan hal-hal yang mungkin bisa terjadi tanpa saya sadari, tanpa saya tahu akan berkembang ke arah mana, akan menjadi apa dan seterusnya. Saya tahu bahwa meditasi bisa memperkuat itu. Tapi saya tetap berusaha mendaftar untuk retret meditasi dengan pengandaian bahwa jika meditasi tersebut dilakukan di retret saja secara intensif, maka apa yang mungkin muncul—fenomena-fenomena aneh—barangkali akan muncul selama di retret saja dan tidak akan mengganggu kehidupan sehari-hari setelah retret berakhir. Ternyata itu pemikiran yang bodoh.

Tangisan Pecah

Pada hari pertama, malam pertama, saya tidak mengalami apa-apa. Hanya tidak bisa tidur. Hari kedua malam kedua masih meditasi secara biasa, saya bisa tidur dengan nyenyak, tapi pada saat istirahat siang pada hari ketiga saya terbangun dengan mimpi buruk. Malam ketiga, saat mendekat ke teman sekamar sewaktu diminta dibuatkan makanan karena fenomena tubuh yang sedang dialami olehnya, energi yang dihasilkan dari tubuh teman tersebut membuat saya kliyengan tiba-tiba. Dari situ tubuh mulai bergetar pelan. Dan saya tidak bisa tidur selama malam ketiga tersebut. Dari situ mulai muncul rasa galau. Pada hari keempat, setelah sesi meditasi pagi, saya tidur, tapi tidak bisa benar-benar tidur. Tubuh tidur tapi ada bagian yang masih terbangun. Saat sesi diskusi selesai, perasaan galau itu semakin kuat.

Puncaknya setelah makan siang, tangisan pecah tanpa bisa saya tahan, tanpa saya tahu penyebabnya apa. Hanya kesedihan mendalam saja dimana jantung rasanya teriris-iris sehingga mau ditahan bagaimanapun tangis itu tetap pecah. Dan tangis waktu itu adalah salah satu jenis tangis dengan kesedihan yang paling dalam bagi saya. Sampai sekarang pun saya tidak tahu apa penyebab tangisan itu. Hanya muncul dan pecah begitu saja. Sehabis tangis-menangis, saya mencari pastor untuk dialog pribadi. Karena saat itu jam istirahat, pintu dan jendelanya tertutup, saya sampaikan ke panitia untuk meneruskan permintaan sesi dialog pribadi ke pastor saat pastor sudah bisa ditemui. Setelah itu saya mencoba tidur siang, tetapi tapi tidak bisa tidur. Badan mulai terasa demam dan kepala sakit, tapi sakit tersebut anehnya sakit yang tidak benar-benar sakit juga. Jadi memang fisik terasa sakit, demam, tapi antara nyata dan tidak, antara ada dan tidak ada. Itu sakit metafisik menurut kata rekan kamar.

Dari dialog dengan pastor, dan sempat dialog sebentar dengan rekan kamar, keduanya mengatakan hal yang maksudnya persis sama, bahwa kepedihan harus dihadapi agar saya bisa melangkah maju. Jika tidak dihadapi, saya akan terus berputar-putar saja di situ dengan mencari pelarian ke hal-hal yang saya suka. Memang tidak mengenakkan, tapi harus disadari dan dihadapi saja fakta itu.

Dari sesi dialog dengan pastor pula, saya dikuatkan untuk mau dan berani melangkah dan berjalan ke jalan yang saya merasa takut untuk menghadapinya. Meskipun setelah dialog saya masih tetap berkeluh kesah bahwa apa yang saya alami sangat tidak menyenangkan, bahwa saya galau, tapi satu yang saya sudah tahu pasti, saya harus memutuskan sendiri untuk mau menghadapi hal tersebut atau tidak. Tidak ada orang lain yang bisa melakukannya untuk saya.

Empat Janji Agung

Kemudian yang lebih menguatkan lagi, lebih tepatnya menakjubkan, saya seperti terkena “jebakan betmen” dengan Empat Janji Agung yang harus diucapkan oleh semua peserta. Saya sudah langsung was-was sewaktu diminta untuk mengucapkan. Saat mendengar isinya, saya terperangah, lemes, sebel dan sekaligus takjub. Dalam keadaan batin saya seperti saat itu, Empat Janji Agung tersebut sangat luar biasa pengaruhnya bagi saya. Bagi saya itu terasa seperti janji seumur hidup dengan tanggung jawab yang besar, tidak peduli bagaimana berat rintangannya, saya harus menjalaninya.
Salah satu janji yang paling berpengaruh dan menjawab untuk kondisi saya pada saat itu adalah janji untuk menghadapi ketakutan saya tersebut, bahwa saya tidak boleh lari dari ketakutan saya (saya jedukin kepala).

Isi janji lainnya yang jauh lebih dalam adalah menghargai seluruh kehidupan.Saya belum sepenuhnya paham secara mendalam. Tapi saya jelas sekali bahwa Empat Janji Agung tersebut luar biasa menggetarkan saya pribadi.

Pada akhirnya, saya sudah tidak bisa lari. Empat Janji Agung tersebut terasa seperti komitment yang sangat mengikat. Maksudnya, dalam keadaan batin yang terjaga seperti itu, bagi saya isinya menjadi sangat terasa kekuatan magis dan mengikat. Sama seperti komitment untuk menghadapi ketakutan dan berjalan terus di dalam ketakuan tersebut apapun yang terjadi. Tidak ada pilihan lain selain menjalani. Meski demikian, dari dalam batin saya sendiri, juga muncul kerelaan untuk mau melaksanakan janji yang sangat luar biasa berat tersebut.

Tidak Lari

Sejak pulang retret tiga hari lalu sampai pada hari saya menulis testimoni ini, ketika tidur saya mengalami mimpi yang penuh kengerian. Bukan mimpi tentang hantu atau setan (karena memang sepertinya saya tidak punya rasa takut dengan hal tersebut), tapi mimpi peristiwa yang bukan peristiwa yang pernah terjadi pada hidup saya. Saya tahu peristiwa itu juga tidak akan terjadi di kehidupan nyata. Yang mau saya tekankan adalah bahwa peristiwa pada mimpi tersebut membawa kengerian dan memiliki sensasi ngilu yang menyakitkan saat mimpi itu sedang terjadi. Meskipun sama sekali tidak menyenangkan, tapi tidak apa-apa. Saya anggap saja itu sebagai proses pembersihan yang dilakukan sendiri oleh tubuh atau batin saya. Meskipun saya masih belum bisa mengerti sepenuhnya apa yang ingin disampaikan oleh mimpi-mimpi aneh dan mengerikan tersebut.

Saya memutuskan untuk menghadapinya saja, tidak lari darinya. Karena selain dari Empat Janji Agung yang membuat saya tidak boleh lari, saya dengan sendirinya memahami pula bahwa jika saya tidak menghadapinya saat ini, saya mungkin akan menghadapinya lagi di waktu mendatang. Jadi tidak ada gunanya untuk berlari. Meskipun saya tahu dengan mengambil keputusan tersebut, maka saya harus menghadapi ketakutan-ketakutan saya atau mungkin kengerian yang tidak jelas seperti yang terjadi dalam mimpi saya. Untuk membantu proses yang tidak menyenangkan tersebut tetap berjalan dengan lancar, saya mulai lagi melakukan meditasi rutin ketika saya punya waktu untuk melakukannya.

Terima kasih untuk Pastor Sudri atas bimbingan, kesabaran, penjelasan, dan waktu selama retret.*