Cinta adalah seperti bunga. Ketika mekar, ia menebarkan keindahan di mana-mana. Cinta membuat segala sesuatu indah, suci, penuh gairah, penuh vitalitas kehidupan. Akan tetapi keindahan dan gairah cinta seringkali lenyap begitu saja ketika kenikmatan atau kepuasan psikologis mengisi kekosongan atau kesepian batin dan kita melekatinya.
Bunga cinta selalu mekar, tidak pernah layu. Hanya batin yang terbelit kelekatan tidak mampu melihat keindahan bunga cinta yang tak pernah layu.
Cinta dan kelekatan merupakan dua hal yang tidak bisa dipadukan. Kelekatan adalah musuh cinta. Semakin dalam kita melekat, semakin dangkal kita mencinta. Ketakutan mudah menyusup ke dalam relasi-relasi kita dan kita lalu mudah terjebak konflik, terluka, sedih dan menderita. Kualitas hubungan semakin lama lalu semakin merosot.
Seandainya Anda dan saya menjalin persahabatan yang sangat dekat, lalu tiba-tiba saya pergi meninggalkan Anda dan Anda menangis, siapa yang bersalah, saya atau Anda? Anda menangis karena saya meninggalkan Anda atau karena Anda melekat pada diri saya?
Begitu orang yang kita cintai meninggalkan kita, batin kita tergoncang. Kita menyadari ada sesuatu yang terenggut dan hilang dari dalam diri kita dan kita bisa dibuat lumpuh karenanya. Batin dan tubuh kita mengenali sesuatu itu sebagai yang bermakna, tetapi kini tidak bisa kembali seperti dulu.
Perginya sahabat atau orang yang kita cintai seringkali membuat kita menderita. Penyebabnya pertama-tama bukan karena ia pergi, hubungan terputus dan tak bisa dipulihkan, tetapi karena kita melekat padanya. Kalau problem kelekatan itu kita selesaikan selagi kita bersahabat dekat dengannya, apakah kepergiannya membuat kita menderita?
Bisakah kita saling mencinta tanpa kelekatan? Bisakah kita hidup bersama dengan orang yang kita cintai, menikmati persahabatan, saling menolong, berbagi suka dan duka, setia dalam untung dan malang, setia dalam sehat dan sakit dan tetap tidak lekat satu dengan yang lain? Masalah dengan persahabatan pertama-tama bukanlah kenikmatannya di dalam persahabatan itu, melainkan kelekatan yang tumbuh dari persahabatan itu.
Kapan dan mengapa kelekatan muncul dalam proses-proses relasi kita? Kebutuhan fisiologis, misalnya kebutuhan akan hadirnya sahabat sebagai penolong, merupakan hal yang normal. Tetapi keinginan psikologis, misalnya keinginan untuk mendapatkan kepuasan permanen dalam persahabatan, menciptakan ketakutan dan problem-problem psikologis lainnya.
Persahabatan yang dibebani oleh kelekatan justru mempertebal ketakutan akan kekosongan atau kesepian pribadi. Ketakutan ini membuat orang ingin terus mengejar dan mempertahankan kepastian permanen atau kepuasan permanen dari sebuah persahabatan. Munculnya keinginan akan kepuasan permanen inilah awal dari gerak kelekatan. Ketika kelekatan terus bergulir, maka ketakutan dan penderitaan mendapatkan energinya untuk terus bergerak.
Apa yang Anda lakukan ketika ketakutan dan penderitaan datang terus-menerus seperti teror? Anda berjuang untuk tidak-melekat? Anda melawan dengan melakuan kebalikannya, agere contra? Anda memiliki persepsi intelektual bahwa kelekatan menciptakan penderitaan. Anda tahu bahwa Anda melekat dan Anda tidak mau lagi menderita. Anda takut terlibat dalam persahabatan yang ditunggangi kelekatan karena menciptakan penderitaan. Lalu Anda berjuang mengalahkan kelekatan dengan mengikuti persepsi pikiran Anda. Lihatlah, melawan kelekatan dengan berjuang untuk tidak-melekat merupakan gerak kelekatan yang tidak berbeda.
Ketika kelekatan sudah begitu mendalam dan ketakutan serta kesesakan datang terus-menerus seperti teror, tidak ada sesuatupun yang perlu Anda lakukan. Anda juga tidak perlu pergi ke manapun untuk menghentikan teror tersebut. Yang perlu Anda lakukan adalah membiarkan batin berhenti berlari, berhenti berpikir, berhenti menganalisa, berhenti menilai, berhenti mengadili, berhenti menyalahkan, dan kembali sadar. Perlu sadar setiap kali teror datang, tidak peduli ia datang 1 detik, 1 menit, 1 jam, berhari-hari atau berminggu-minggu. Di sini diperlukan kesabaran dan intensitas untuk tinggal bersama dengan ketakutan dan kesesakan itu tanpa perlawanan sedikitpun.
Melihat langsung kenyataan bahwa kelekatan membawa penderitaan, melihat langsung tanpa intervensi persepsi pikiran, adalah akhir dari semua problem keletakan. Ketika kelekatan berakhir, mungkin bunga cinta yang tak pernah layu terlahir. Persahabatan atau hubungan-hubungan yang tidak lagi ditunggangi kelekatan bukankah lalu menjadi jernih, suci, indah, dan penuh vitalitas? Bisakah cinta seperti ini mekar setiap hari dan kita hidup dengan cinta yang berlimpah-limpah?*
Mau tanya jd intinya apa? Dan apa beda cinta dg sayang? Apakah cinta timbul hanya sesaat sj ?
Bukankah rasa sayang atau rasa cinta yang kita kenal tidak bebeda? Rasa sayang atau cinta yang kita kenal ini tidak bebas dari kelekatan. Itu yang kita tahu. Bisakah kita melihat bahwa kelekatan ini racun kasih sayang?
benar sekali Romo ,ketika kelekatan itu berakhir maka akan terlahir cinta yang berkelimpahan, murni,suci,menyelamatkan,indah dan penuh vitalitas bahkan mampu berbuah bagi semua orang,saya menunggu jadwal retret selanjutnya ,terimakasih Romo,Berkah Dalem.
Jadwal retret 2012 bisa dilihat di blog ini. Retret 10 hari 15-26 Agustus sudah penuh. Silahkan mendaftar yang berikutnya.
apakah tanpa kelekatan itu artinya tanpa komitmen, tidak konsisten? perlukah sebuah relasi disertai komitmen? sering komitmen menciptakan resiko, apakah bebas dari kelekatan sama artinya tidak berani berkomitmen yang menghasilkan resiko? mohon pencerahan romo.. trims..
Dalam setiap hubungan, pun suatu hubungan yang dibangun atas dasar cinta, hampir selalu ada kelekatan. Ada komitment atau tidak ada komitment, konsisten atau tidak konsisten, berani atau takut mengambil resiko, di sana ada kelekatan. Jadi jangan mencoba mengerti dengan pikiran keadaan batin yang tanpa-kelekatan, tetapi pahamilah fakta bentuk-bentuk kelekatan itu dalam hubungan-hubungan dan bisakah mengakhirinya.
Terima kasih romo.. saya masih sulit mencerna pikiran-ajaran romo.. mengakhiri sebuah kelekatan ?? pasti sulit…apalagi dalam hubungan tanpa komitment-pun ditemukan kelekatan… bagaimana mengakhiri kelakatan tanpa mengakhiri sebuah relasi? perlukah kedua pihak sepakat dengan hal sama : mengakhiri kelekatan? jika tidak sebelah pihak yang tetap dilekati pasti akhirnya timbul saling terikat kelekatan..
Like like like.
Malam Romo, Saya krisianto dari St. Anna, yg saya tanyakan apakah cinta kita kepada Tuhan juga membuat kita semangkin lekat dengan Dia dan karya keselamatanya? bagaimana jika kita mencintaiNya tetapi enggan ikut dalam karya Kasihnya (Keselamatan)
Cinta yang kita kenal ini terbelit oleh kelekatan dan kelekatan tidak bisa berjalan bersama CINTA. CINTA yang sesungguhnya tidak lain adalah TUHAN itu sendiri. Begitulah temuan Yohanes. Agar CINTA yang adalah TUHAN ini mekar dalam batin kita, maka ego/kelekatan musti runtuh. Selama masih ada ego/kelekatan, maka CINTA/TUHAN tidak ada. Ketika ego/kelekatan berakhir, CINTA/TUHAN terlahir. CINTA yang bebas ego ini bukan cinta sentimental, bukan cinta perasaan, tapi CINTA yang BERTINDAK. Kalau ada orang bilang mencintai TUHAN, tetapi perilaku atau tindakannya masih dipenuhi ego/kelekatan, termasuk kelekatan pada cinta/TUhan sebagai konsep, maka itu bukan CINTA yang sesungguhnya.
Mengelitik bahasannya, dan membuat saya hanya bisa bertanya dalam hati sendiri bisakah saya melakukannya?
hahaha. . ., will see,,
need learn more.
Thank you romo š
_Smile and Breathe_ (~.0)
apakah cinta kepada keluarga (anak dan istri) juga harus tanpa kelekatan?
bagaimana kalau mereka harus “pergi”, apakah kita tidak harus berupaya mempertahankan?
walaupun memang “sakit” sekali rasanya.
Romo Sudri,
Tulisan Romo, mengenai Cinta & Kelekatan, bagus sekali… Saya izin share di FB yach… Terima kasih :o)
Silahkan di share.
sebenarnya bukan hanya cinta saja yang harus dibersihkan dari kelekatan tapi mungkin segala aspek dalam diri maupun jiwa,hal itu membutuhkan waktu ,rahmat dan kesabaran,jika mampu melakukanya maka jadilah kita manusia seutuhnya,itulah perbedaan kita dengan hewan maupun tumbuhan yaitudengan akal,budi ,hati mampu melewati semua batas diri , jika berhasil maka kita akan mendapat segala kelimpahan dan kedamaian bersama Sang Cinta
benarkah kesimpulan saya ini mo ?
Akal budi atau pikiran adalah esensi dari diri. Maka diri (pikiran) tidak bisa dilampaui oleh diri (pikiran). Keterbatasan diri hanya mungkin bisa dilampaui kalau pikiran atau diri berhenti.
Berhentinya pikiran atau diri tidak bisa diupayakan oleh pikiran atau diri, tapi bisa berhenti dengan sendirinya kalau disadari. Kalau Anda mengalami berhentinya pikiran atau diri, Anda barangkali mengetahui secara aktuil apa artinya peran rahmat di sini.
Berhentinya pikiran atau diri tidak membutuhkan waktu psikologis. Berhentinya pikiran atau diri terjadi seketika, justru di luar waktu psikologis.
Tentu praktik kesadaran ini membutuhkan waktu fisikal, dalam artian perlu dibiasakan dari saat ke saat dalam waktu yang lama dan butuh kesabaran.
makasih romo, saya pergi agar dapat latihan tidak melekat hehehe… kapan ngisi sehat indonesia lagi dong mo?
Oke.
Dear Romo Sudri,
Artikel yg indah dan sangat bermakna!! Namun saya berpikir apakah ‘kelekatan cinta’ ini kita kenal ketika kita mulai menjadi manusia…sejak didalam kandungan ibu? dan kita belajar melepaskan ketika kita dilahirkan didunia? Namun secara lahiriah dan batiniah hal ini tetap ada dan terbentuk hingga kita dewasa dan menjalin hubungan lain dg sesama…apakah pembelajaran ‘melepaskan kelekatan’ ini seharus nya diajarkan lebih dini sejak anak hingga dewasa….seperti bayi yang belajar ‘apa artinya sakit’…..sungguh indah jika kita dapat mengatasi bagaimana menghilangkan kelekatan ini….Peace n Smile
Seorang anak bayi tidak bisa hidup tanpa sentuhan ibunya. Ketergantungan anak bayi terhadap ibunya pertama-tama bukanlah bentuk kelekatan, tetapi ketergantungan alamiah untuk survival. Itu seperti kita bergantung pada makanan yang kita konsumsi; tanpa itu tubuh ini tidak bisa bertahan hidup.
Ketika seorang anak mulai mengenal “ini milikku”, “inilah aku”, “aku ingin bahagia”, maka ketergantungan psikologis atau kelekatan sudah mulai meracuni hatinya dan penderitaan mulai menyakiti jiwanya. Maka ketika sakit dan penderitaan mereka rasakan, atau ketika mereka menghadapi suatu problem yang menekan, itulah saat yang paling baik bagi kita bersama-sama mereka untuk memahami persoalannya.